Selasa, 13 Mei 2014

Film

Romantika, Tradisi Tutur dan Moral Intelektual
(Perihal Film Romy dan Yuli dari Cikeusik)

Sumber: http://inspirasi.co/forum/post/958/romantika_tradisi_tutur_dan_moral_intelektual

Pemenang Hiburan 8 (iPad2)
Lomba Review 5 Film Indonesia tanpa Diskriminasi Denny JA-Hanung Bramantyo 2013




Kehidupan lebih besar daripada segala seni
(Mahatma Gandhi)

DI TAMAN dalam satu lanskap, Yuli—seorang mahasiswi—tampil menukil lafal sajak Kahlil Gibran: ‘Bila cinta tlah memanggilmu, ikutlah jalannya walau mungkin berliku. Dan bilamana sayapnya mendekapmu...”  Sontak, larik syair  penyair berdarah Lebanon itu rumpang, alpa dari memori perempuan itu.  Sampai kemudian Romy—seorang dosen muda—menyambut,’Dan bilamana sayapnya mendekapmu, pasrah dan menyerahlah, walau pedang yang bersembunyi di sayap itu menghunusmu...”


Inilah adegan paling romantis, sekaligus subversif dan sinis dalam film Romy dan Yuli dari Cikeusik .  Paling romantis, tersebab tiada gelora maha agung dari para penggila cinta selain ihwal ketakjuban, juga gairah untuk senantiasa berbagi dalam hidup dan mati. Terlebih sajak yang kumandang; sajak cinta dari Kahlil Gibran—penyair romantisisme yang subversif dan disebut pemikir Adonis: Sinis.

Romantika Romy (diperankan amat menyakinkan oleh Ben Kasyafani) dan Yuli (Zaskia Adya Mecca) dari film besutan Indra Kobutz dan Hanung Bramantyo ini, memang kisah yang efektif  menakik romantisisme,  yang dalam takrif profesor sastra Faruk sebagai kesatuan dan ketegangan antara dunia ideal yang menuntut persatuan dengan dunia nyata yang penuh dengan keterpisahan, kekacauan dan keaneragaman dalam hubungan antar unsur yang membangunnya. 

Dengan kata lain ada idealisme  dalam Romy dan Yuli dari Cikeusik, yang berhadapan dengan realitas.  Dan realitas dalam film berkorelasi dengan tabiat subversif dan corak sinis sajak Kahlil Gibran. Bahwa ini semata perihal kreativitas, kebebasan. Tepatnya perihal kehidupan manusia-kini, bukan an sich ketuhanan. Manusia tak lagi hamba yang tunduk pada Allah. Allah dan manusia menjadi satu eksistensi dengan dua perwujudan: Allah merupakan hari esok manusia. Sementara sinisme Kahlil Gibran lebih menekankan  kebebasan-moral-filosofis.

Film berdasarkan puisi esai Denny JA ini—juga idealisme di dalamnya—mengingatkan pada ungkapan penyair Inggris Alexander Pope ‘The proper study of minkind is man.’  Pelajaran yang telak perihal kemanusiaan hanyalah dari manusia. Artinya, bukan meneguhkan ajaran Tuhan atau ayat-ayat Tuhan. Kesan ini kuat, sekalipun buah karya Yayasan Denny JA untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi dan Yayasan Bingkai dibuka dengan narasi ‘Cerita ini terinspirasi dari peristiwa Cikeusik 6 Pebruari 2011,’—sebuah  peristiwa bernuansa sentimen agama.

Bermula dari seorang dalang wayang golek memainkan cerita Romy dan Yuli, dilatari nyanyian adaptasi lagu Betawi, si Jali-Jali, mengalirlah kisah yang—sudah bisa diduga—berpusar  pada kegetiran cinta dua sejoli itu.  Romi (pakai i) dan Yuli adalah bingkai cerita yang muasalnya populer lewat lirik gubahan Idris Sardi, Sjumanjaya, dan Broery Pesolima untuk film adaptasi drama Shakespeare, Romeo and Juliet.  Judulnya Pengantin Remaja, karya Wim Umboh tahun 1971. Berbeda dari kisah aslinya, Romy dan Yuli dari Cikeusik maupun oleh karya Wim Umboh ini seakan mufakat mematikan sosok Yuli di akhir kisah.  Bahkan tersebab yang sama: kanker. Shakespeare meniadakan sejoli Romeo dan Juliet atas kemauan sendiri menenggak racun, tapi pada dua film Indonesia ini, kematian Yuli bukan atas hajat manusia.

Barangkali adiksi budaya patriarkhi memantik para pengarang berpikir demikian, selain oleh sebab kematian perempuan lebih dramatis menyihir simpati publik. Bahkan hingga sekarang, sebagaimana wajah sinetron kita yang digandrungi pirsawan.  Yang membedakan kisah Romy dan Yuli dari Cikeusik dengan dua lainnya, kisah ini berlatar sosial keagamaan—tepatnya kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik yang dialami orangtua Romy (Cecep Iswandi) oleh umat Islam garis keras dari pesantren yang diasuh ayahanda Yuli (Joshua Pandelaki).

Sampai di sini sudah diniatkan film berdurasi 41 menit 20 detik itu mengambil resiko besar (dan kompleks) dengan menyimpang dari cerita aslinya, juga dalam melibatkan campur tangan Tuhan. Sebuah resiko dan kerumitan yang hanya bisa diselesaikan oleh intelektual yang disebut Kahlil Gibran menekankan kebebasan-moral-filosofis: Berani, sinis bahkan dekonstruktif.

Sebuah film dinisbatkan sebagai cerita ketika diawali: ‘Ini hanyalah cerita fiktif belaka.’ Dan setiap cerita terlebih yang di dalamnya hadir sosok manusia, berpretensi  realisme—berikut pesan moral yang menyertainya. Sejarah realisme sejak awal abad 19 di Eropa memperlihatkan anasirnya selain moralitas adalah masyarakat. Simpul keduanya, etika masyarakat. Singkat kata, fokus film ini pada manusia dan kemanusiaan, kini—tepatnya, manusia dengan darah daging, pikiran dan perasaan serta hatinya.  Film ini tak berbicara tentang Tuhan. Apalagi Tuhan yang butuh pembelaan manusia, karena Tuhan memang perlu manusia, tetapi Tuhan tak membutuhkan pembelaannya.

Kendati banyak menghadirkan teks seni sejak wayang, puisi, drama, juga cerita rakyat, musik, film ini juga bukan tentang seni. Betapa pembicaraan tentang seni kerapkali tergelincir pada laku ‘seni yang menyatu dengan segala kegiatan kehidupan sehari-hari,’ ataukah ‘seni yang menjadi medan penggalian makna hidup yang bersifat sangat pribadi.’ Meski demikian, Romy dan Yuli dari Cikeusik tampaknya khusyuk lebih mendedah kemanusiaan dari sisi hati—yang  oleh filosof Iqbal, didefinisikan sebagai sejenis intuisi batin—ketimbang, darah, daging, atau pikiran dan perasaan.

Etika mengenali intuisi batin sebagai hati nurani. Dan boleh dikata hati nurani adalah ‘ibunda’ dari moralitas, dengan ’anak-anak’ tanggungjawab dan kebebasan.  Ia adalah kekuatan khusus dalam mewujudkan nilai-nilai moral manusia dan universal. Ia hanya membutuhkan aktualisasi,  yang kontekstual atas nama spirit tertinggi kehidupan nyata sehari-hari.  “Hati mereka berpelukan. Tapi pikiran mereka bersilangan,” demikian dituturkan tokoh penyair.

Hati atau matahati tak pernah keliru dalam melihat kenyataan.  Siapapun yang suntuk menyaksikan film ini akan disentuh, dikoyak atau dicabik-cabik hatinya. Film ini lebih mengekplorasi hal itu tanpa harus terjatuh mendramatisir diri berlarat-larat laiknya sinetron-sinetron kita kini.  Film ini adalah realisme yang niscaya atau setidaknya, mungkin.  Dan bukan absurditas yang mendewakan kebodohan, yang tentu saja mustahil.

Sekali lagi ini bukanlah terkait kesenimanan, melainkan intelektualitas.  Seorang intelektual  musti pemikir yang kritis, progresif, atau dalam bahasa Karl Menhaim ‘terasing dan terpisah dari masyarakat.’  Karya para intelektual—juga pada film ini—lahir dari disiplin,  juga cinta dan ketakjuban,  meski intelektual kian tak galib di sebuah negeri yang sarat sarang komplotan ini. Tak berarti karya ini intelektualistik-elitis yang sulit dimengerti. Sebaliknya, film ini justru melebur ke habitat purbawi seni: menjadi bagian dari denyut kehidupan sehari-hari yang biasa.  Sampai tulisan ini dianggit,  Romy dan Yuli dari Cikeusik telah ditonton 968.040 kali,  disukai 1.161 dan dikomentari 23 orang.

Sudah barangtentu media film memanggul konsekuensi ideologis. Ada pesan di dalamnya yang mempengaruhi,  merebut dan menduduki ruang bawah sadar, menampilkan mitos-mitos baru. Dengan kata lain film memproduksi mitos. Namun sebagai karya yang bagus akan sulit mengudar bagaimana mitos-mitos baru itu bekerja, sebaliknya yang lebih terurai bagaimana film mengungkai, menghancurkan mitos-mitos lama—dalam hal ini ideologi agama Islam fundamentalis.

Yang menarik sutradara membungkus pesan, ideologis dan mitos-mitos barunya melalui film itu dengan pelbagai tradisi tutur. Sutradara tidak menolak pesan ideologis, namun justru mempertajamnya. Tampilnya suara lembut narator/penyair yang diperankan Agus Kuncoro, misalnya, begitu halus namun efektif merasuk ruang batin dan puncak dari pesan ideologis itu dituturkan tokoh Islam moderat Guntur Romli.

Pada teater atau sastra tidak sulit menemukan ekplorasi tradisi tutur oleh pengarang. Namun dalam dunia film tampaknya tak banyak. Salah satunya Garin Nugroho dalam Puisi Tak Terkuburkan. Bahwa tradisi tutur memberikan ruang pertempuran subjektivitas di antara colectif-conciusnes (kesadaran kolektif). Demikian pula dengan film ini. Tersebab itulah, sebuah film yang diangkat dari satu puisi esai, dengan mengekplorasi tradisi tutur di dalamnya akan cenderung menjadi satu film esai pula.

Film esai atau sinematik esai, lazim bersifat integratif selain khas usaha memvisualisasikan esai. Ada dokumenter di dalamnya, fiksi, juga ekperimentasi. Atau dalam bahasa kritikus film Phillip Lopate menyatakan bahwa sebuah sinematik esai adalah sebuah teks (sinema) yang dapat mengekspresikan kekuatan sebuah sudut pandang personal “strong, personal point of view” untuk mendiskusikan isu-isu tertentu. Dan estetika film esai terletak pada kekuatan persuasinya, menarik dan dibuat secara seksama. Dalam kontek film ini, subjektivitas pun absolut karena sadar nilai kebebasan, keadilan, kesusilaan, hukum dan etika lainnya sebagai daya dorong pencapaian harkat tertingginya.

Begitulah,  menimbang subtansi film esai  sembari menghadirkan kembali mitos, tradisi tutur, cerita rakyat, sekaligus mendekatkan pada kehidupan biasa, semata-mata adalah tanggungjawab kerja intelektual.  Inilah dasar etik dan moral film Romy dan Yuli dari Cikeusik. Bahwa fungsi etika dalam catatan Franz Magnis Suseno bukan membangun sikap-sikap moral baru, melainkan terbatas pada segi integrasi intelektual—sebagai makluk yang berpikir rasional, dapat mempertanggung-jawabkan sikap-sikapnya terhadap perngalaman-pengalaman baru.

Konkretnya, dari prespektif intelektual, nilai moral yang ditopang oleh hati nurani, berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggungjawab. Secara pribadi manusia harus bertanggungjawab karena musti sanggup refleksi diri terutama mengenai dirinya sendiri atau juga perihal orang lain. Tanggungjawab pribadi atas nilai moral lebih didasari karena manusia berhadapan dengan kebebasan orang lain,  juga ketakutan-ketakutannya, keterbatasan-keterbatasannya terhadap sesama, lingkungan sebagai akibat dari ketidakmampuannya untuk hidup sendiri.

Satu lagi keunikan film ini sebagai sebuah hakikat film esai,  aspek fiksi atau cerita tetap menjadi penting dalam bentuk yang semestinya gagasan subjektif lebih mengemuka. Adegan paling menyentuh adalah ketika tokoh antagonis berdamai diri, merestui perkawinan Romy dan Yuli. “Mereka dahulukan cinta anaknya di atas paham agama. Mereka hanya turuti suara hati,” demikian tutur penyair.

Pada titik inilah terkuak alasan penting menimbang tradisi tutur sebagai medium untuk menggelontorkan gagasan. Tampilnya narator tak lain guna memperkuat ide film ini. Kemudian, aspek dokumenternya yang kuat, boleh dikata ini membawa asumsi film semi dokumenter. Tak kurang,  mengemukanya dokumentasi peristiwa penyerbuan Perguruan al-Mubarok milik Ahmadiyah di Parung, Bogor (9 Juli 2005), pembakaran Masjid Al-Furqon milik Ahmadiyah Di Parakansalak, Sukabumi (27 April 2008), lalu penyerbuan rumah-rumah pengikut Ahmadiyah di Gegerung Lingsar, Mataram (26 November 2010) tak lain dimaksudkan untuk ini. Artinya, film ini sonder abai esensi dokumenternya pada ‘ingatan’ yang bersumber dari fakta-fakta, data, tulisan, artefak.

Dus, sebagai sebuah seni, cerita pula yang menyebabkan film ini begitu riuh dengan hal-hal yang klise. Yang paling klise adalah kematian Yuli sebagai ending cerita,  oleh karena sampai di sini Tuhan merebut cerita tokoh-tokohnya. Sebagai film kemanusiaan, agak sulit juga menautkan kisah mistis kenabian Ibrahim—yang ikhlas menyembelih putranya atas nama agama, meski Tuhan menyelamatkannya—dengan  dunia nyata kini. Lantas,  puisi esai yang menjadi energi film ini tak diperlakukan sebagai suatu inspirasi yang kaya, melainkan hanya sebuah inspirasi. Implikasinya,  subjektivitas sutradara tak begitu menonjol. Yang mengemuka adalah subjektivitas penyair—Denny JA.  Berikutnya, kompleksitas seni justru meminggirkan potensi sinematografi.  Film tunduk pada puisi, laiknya puisi takluk pada esai. Bagai musikalisasi puisi, meski sejatinya puisi pun memiliki musiknya sendiri. Sebuah filmisasi puisi, semestinya film pun merawat puisinya sendiri.

Akhirnya, kembali pada amsal Gandhi, “Orang yang hidupnya mendekati sempurna adalah seniman terbesar.” Inilah imajinasi semua orang, yang agamis maupun atheis atau pun yang bukan keduanya. Bahwa kehidupan lebih penting, sepenting mendaki puncak eksperimen sebuah film esai dari inspirasi atas puisi esai: Suatu ihktiar bareng meremukkan mitos sisiphus, takkan mulus. []

S. JAI
Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII)
Gubeng Kertajaya Surabaya
Email        : tanahapikata@gmail.com