Romantika, Tradisi Tutur dan Moral Intelektual
(Perihal Film Romy dan Yuli dari Cikeusik)
Sumber: http://inspirasi.co/forum/post/958/romantika_tradisi_tutur_dan_moral_intelektual
Pemenang Hiburan 8 (iPad2)
Lomba Review 5 Film Indonesia tanpa Diskriminasi Denny
JA-Hanung Bramantyo 2013
Kehidupan lebih besar daripada segala seni
(Mahatma Gandhi)
DI TAMAN dalam satu lanskap, Yuli—seorang
mahasiswi—tampil menukil lafal sajak Kahlil Gibran: ‘Bila cinta tlah
memanggilmu, ikutlah jalannya walau mungkin berliku. Dan bilamana sayapnya
mendekapmu...” Sontak, larik syair penyair berdarah Lebanon itu
rumpang, alpa dari memori perempuan itu. Sampai kemudian Romy—seorang
dosen muda—menyambut,’Dan bilamana sayapnya mendekapmu, pasrah dan
menyerahlah, walau pedang yang bersembunyi di sayap itu menghunusmu...”
Inilah adegan paling romantis, sekaligus subversif dan
sinis dalam film Romy dan Yuli dari Cikeusik . Paling
romantis, tersebab tiada gelora maha agung dari para penggila cinta selain
ihwal ketakjuban, juga gairah untuk senantiasa berbagi dalam hidup dan mati.
Terlebih sajak yang kumandang; sajak cinta dari Kahlil Gibran—penyair
romantisisme yang subversif dan disebut pemikir Adonis: Sinis.
Romantika Romy (diperankan amat menyakinkan oleh Ben
Kasyafani) dan Yuli (Zaskia Adya Mecca) dari film besutan Indra Kobutz dan
Hanung Bramantyo ini, memang kisah yang efektif menakik romantisisme,
yang dalam takrif profesor sastra Faruk sebagai kesatuan dan ketegangan antara
dunia ideal yang menuntut persatuan dengan dunia nyata yang penuh dengan
keterpisahan, kekacauan dan keaneragaman dalam hubungan antar unsur yang
membangunnya.
Dengan kata lain ada idealisme dalam Romy
dan Yuli dari Cikeusik, yang berhadapan dengan realitas. Dan
realitas dalam film berkorelasi dengan tabiat subversif dan corak sinis sajak
Kahlil Gibran. Bahwa ini semata perihal kreativitas, kebebasan. Tepatnya
perihal kehidupan manusia-kini, bukan an sich ketuhanan.
Manusia tak lagi hamba yang tunduk pada Allah. Allah dan manusia menjadi satu
eksistensi dengan dua perwujudan: Allah merupakan hari esok manusia. Sementara
sinisme Kahlil Gibran lebih menekankan kebebasan-moral-filosofis.
Film berdasarkan puisi esai Denny JA ini—juga
idealisme di dalamnya—mengingatkan pada ungkapan penyair Inggris Alexander Pope ‘The
proper study of minkind is man.’ Pelajaran yang telak perihal
kemanusiaan hanyalah dari manusia. Artinya, bukan meneguhkan ajaran Tuhan atau
ayat-ayat Tuhan. Kesan ini kuat, sekalipun buah karya Yayasan Denny JA untuk
Indonesia Tanpa Diskriminasi dan Yayasan Bingkai dibuka dengan narasi ‘Cerita
ini terinspirasi dari peristiwa Cikeusik 6 Pebruari 2011,’—sebuah
peristiwa bernuansa sentimen agama.
Bermula dari seorang dalang wayang golek memainkan
cerita Romy dan Yuli, dilatari nyanyian adaptasi lagu Betawi, si
Jali-Jali, mengalirlah kisah yang—sudah bisa diduga—berpusar
pada kegetiran cinta dua sejoli itu. Romi (pakai i) dan Yuli
adalah bingkai cerita yang muasalnya populer lewat lirik gubahan Idris Sardi,
Sjumanjaya, dan Broery Pesolima untuk film adaptasi drama Shakespeare, Romeo
and Juliet. Judulnya Pengantin Remaja, karya Wim Umboh
tahun 1971. Berbeda dari kisah aslinya, Romy dan Yuli dari Cikeusik maupun
oleh karya Wim Umboh ini seakan mufakat mematikan sosok Yuli di akhir
kisah. Bahkan tersebab yang sama: kanker. Shakespeare meniadakan sejoli
Romeo dan Juliet atas kemauan sendiri menenggak racun, tapi pada dua film Indonesia
ini, kematian Yuli bukan atas hajat manusia.
Barangkali adiksi budaya patriarkhi memantik para
pengarang berpikir demikian, selain oleh sebab kematian perempuan lebih
dramatis menyihir simpati publik. Bahkan hingga sekarang, sebagaimana wajah
sinetron kita yang digandrungi pirsawan. Yang membedakan kisah Romy
dan Yuli dari Cikeusik dengan dua lainnya, kisah ini berlatar sosial
keagamaan—tepatnya kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik yang
dialami orangtua Romy (Cecep Iswandi) oleh umat Islam garis keras dari
pesantren yang diasuh ayahanda Yuli (Joshua Pandelaki).
Sampai di sini sudah diniatkan film berdurasi 41 menit
20 detik itu mengambil resiko besar (dan kompleks) dengan menyimpang dari
cerita aslinya, juga dalam melibatkan campur tangan Tuhan. Sebuah resiko dan
kerumitan yang hanya bisa diselesaikan oleh intelektual yang disebut Kahlil
Gibran menekankan kebebasan-moral-filosofis: Berani, sinis bahkan
dekonstruktif.
Sebuah film dinisbatkan sebagai cerita ketika diawali: ‘Ini
hanyalah cerita fiktif belaka.’ Dan setiap cerita terlebih yang di
dalamnya hadir sosok manusia, berpretensi realisme—berikut pesan moral
yang menyertainya. Sejarah realisme sejak awal abad 19 di Eropa memperlihatkan
anasirnya selain moralitas adalah masyarakat. Simpul keduanya, etika
masyarakat. Singkat kata, fokus film ini pada manusia dan kemanusiaan,
kini—tepatnya, manusia dengan darah daging, pikiran dan perasaan serta
hatinya. Film ini tak berbicara tentang Tuhan. Apalagi Tuhan yang butuh
pembelaan manusia, karena Tuhan memang perlu manusia, tetapi Tuhan tak
membutuhkan pembelaannya.
Kendati banyak menghadirkan teks seni sejak wayang,
puisi, drama, juga cerita rakyat, musik, film ini juga bukan tentang seni.
Betapa pembicaraan tentang seni kerapkali tergelincir pada laku ‘seni yang
menyatu dengan segala kegiatan kehidupan sehari-hari,’ ataukah ‘seni yang
menjadi medan penggalian makna hidup yang bersifat sangat pribadi.’ Meski
demikian, Romy dan Yuli dari Cikeusik tampaknya khusyuk lebih
mendedah kemanusiaan dari sisi hati—yang oleh filosof Iqbal,
didefinisikan sebagai sejenis intuisi batin—ketimbang, darah, daging, atau
pikiran dan perasaan.
Etika mengenali intuisi batin sebagai hati nurani. Dan
boleh dikata hati nurani adalah ‘ibunda’ dari moralitas, dengan ’anak-anak’
tanggungjawab dan kebebasan. Ia adalah kekuatan khusus dalam mewujudkan
nilai-nilai moral manusia dan universal. Ia hanya membutuhkan aktualisasi,
yang kontekstual atas nama spirit tertinggi kehidupan nyata sehari-hari. “Hati
mereka berpelukan. Tapi pikiran mereka bersilangan,” demikian
dituturkan tokoh penyair.
Hati atau matahati tak pernah keliru dalam melihat
kenyataan. Siapapun yang suntuk menyaksikan film ini akan disentuh,
dikoyak atau dicabik-cabik hatinya. Film ini lebih mengekplorasi hal itu tanpa
harus terjatuh mendramatisir diri berlarat-larat laiknya sinetron-sinetron kita
kini. Film ini adalah realisme yang niscaya atau setidaknya,
mungkin. Dan bukan absurditas yang mendewakan kebodohan, yang tentu saja
mustahil.
Sekali lagi ini bukanlah terkait kesenimanan,
melainkan intelektualitas. Seorang intelektual musti pemikir yang
kritis, progresif, atau dalam bahasa Karl Menhaim ‘terasing dan terpisah dari
masyarakat.’ Karya para intelektual—juga pada film ini—lahir dari
disiplin, juga cinta dan ketakjuban, meski intelektual kian tak galib
di sebuah negeri yang sarat sarang komplotan ini. Tak berarti karya ini
intelektualistik-elitis yang sulit dimengerti. Sebaliknya, film ini justru
melebur ke habitat purbawi seni: menjadi bagian dari denyut kehidupan
sehari-hari yang biasa. Sampai tulisan ini dianggit, Romy
dan Yuli dari Cikeusik telah ditonton 968.040 kali, disukai
1.161 dan dikomentari 23 orang.
Sudah barangtentu media film memanggul konsekuensi
ideologis. Ada pesan di dalamnya yang mempengaruhi, merebut dan menduduki
ruang bawah sadar, menampilkan mitos-mitos baru. Dengan kata lain film
memproduksi mitos. Namun sebagai karya yang bagus akan sulit mengudar bagaimana
mitos-mitos baru itu bekerja, sebaliknya yang lebih terurai bagaimana film
mengungkai, menghancurkan mitos-mitos lama—dalam hal ini ideologi agama Islam
fundamentalis.
Yang menarik sutradara membungkus pesan, ideologis dan
mitos-mitos barunya melalui film itu dengan pelbagai tradisi tutur. Sutradara
tidak menolak pesan ideologis, namun justru mempertajamnya. Tampilnya suara
lembut narator/penyair yang diperankan Agus Kuncoro, misalnya, begitu halus
namun efektif merasuk ruang batin dan puncak dari pesan ideologis itu
dituturkan tokoh Islam moderat Guntur Romli.
Pada teater atau sastra tidak sulit menemukan
ekplorasi tradisi tutur oleh pengarang. Namun dalam dunia film tampaknya tak
banyak. Salah satunya Garin Nugroho dalam Puisi Tak Terkuburkan. Bahwa
tradisi tutur memberikan ruang pertempuran subjektivitas di antara colectif-conciusnes (kesadaran
kolektif). Demikian pula dengan film ini. Tersebab itulah, sebuah
film yang diangkat dari satu puisi esai, dengan mengekplorasi tradisi tutur di
dalamnya akan cenderung menjadi satu film esai pula.
Film esai atau sinematik esai, lazim bersifat
integratif selain khas usaha memvisualisasikan esai. Ada dokumenter di
dalamnya, fiksi, juga ekperimentasi. Atau dalam bahasa kritikus film Phillip
Lopate menyatakan bahwa sebuah sinematik esai adalah sebuah teks (sinema) yang
dapat mengekspresikan kekuatan sebuah sudut pandang personal “strong,
personal point of view” untuk mendiskusikan isu-isu tertentu. Dan
estetika film esai terletak pada kekuatan persuasinya, menarik dan dibuat
secara seksama. Dalam kontek film ini, subjektivitas pun absolut karena sadar
nilai kebebasan, keadilan, kesusilaan, hukum dan etika lainnya sebagai daya
dorong pencapaian harkat tertingginya.
Begitulah, menimbang subtansi film esai
sembari menghadirkan kembali mitos, tradisi tutur, cerita rakyat, sekaligus
mendekatkan pada kehidupan biasa, semata-mata adalah tanggungjawab kerja
intelektual. Inilah dasar etik dan moral film Romy dan Yuli dari
Cikeusik. Bahwa fungsi etika dalam catatan Franz Magnis Suseno bukan
membangun sikap-sikap moral baru, melainkan terbatas pada segi integrasi
intelektual—sebagai makluk yang berpikir rasional, dapat
mempertanggung-jawabkan sikap-sikapnya terhadap perngalaman-pengalaman baru.
Konkretnya, dari prespektif intelektual, nilai moral
yang ditopang oleh hati nurani, berkaitan dengan pribadi manusia yang
bertanggungjawab. Secara pribadi manusia harus bertanggungjawab karena musti
sanggup refleksi diri terutama mengenai dirinya sendiri atau juga perihal orang
lain. Tanggungjawab pribadi atas nilai moral lebih didasari karena manusia
berhadapan dengan kebebasan orang lain, juga ketakutan-ketakutannya,
keterbatasan-keterbatasannya terhadap sesama, lingkungan sebagai akibat dari
ketidakmampuannya untuk hidup sendiri.
Satu lagi keunikan film ini sebagai sebuah hakikat
film esai, aspek fiksi atau cerita tetap menjadi penting dalam bentuk
yang semestinya gagasan subjektif lebih mengemuka. Adegan paling menyentuh
adalah ketika tokoh antagonis berdamai diri, merestui perkawinan Romy dan Yuli. “Mereka
dahulukan cinta anaknya di atas paham agama. Mereka hanya turuti suara hati,” demikian
tutur penyair.
Pada titik inilah terkuak alasan penting menimbang
tradisi tutur sebagai medium untuk menggelontorkan gagasan. Tampilnya narator
tak lain guna memperkuat ide film ini. Kemudian, aspek dokumenternya yang kuat,
boleh dikata ini membawa asumsi film semi dokumenter. Tak kurang,
mengemukanya dokumentasi peristiwa penyerbuan Perguruan al-Mubarok milik
Ahmadiyah di Parung, Bogor (9 Juli 2005), pembakaran Masjid Al-Furqon milik
Ahmadiyah Di Parakansalak, Sukabumi (27 April 2008), lalu penyerbuan
rumah-rumah pengikut Ahmadiyah di Gegerung Lingsar, Mataram (26 November 2010)
tak lain dimaksudkan untuk ini. Artinya, film ini sonder abai esensi
dokumenternya pada ‘ingatan’ yang bersumber dari fakta-fakta, data, tulisan,
artefak.
Dus, sebagai sebuah seni, cerita pula yang menyebabkan
film ini begitu riuh dengan hal-hal yang klise. Yang paling klise adalah
kematian Yuli sebagai ending cerita, oleh karena sampai
di sini Tuhan merebut cerita tokoh-tokohnya. Sebagai film kemanusiaan, agak
sulit juga menautkan kisah mistis kenabian Ibrahim—yang ikhlas menyembelih
putranya atas nama agama, meski Tuhan menyelamatkannya—dengan dunia nyata
kini. Lantas, puisi esai yang menjadi energi film ini tak diperlakukan
sebagai suatu inspirasi yang kaya, melainkan hanya sebuah inspirasi.
Implikasinya, subjektivitas sutradara tak begitu menonjol. Yang mengemuka
adalah subjektivitas penyair—Denny JA. Berikutnya, kompleksitas seni
justru meminggirkan potensi sinematografi. Film tunduk pada puisi,
laiknya puisi takluk pada esai. Bagai musikalisasi puisi, meski sejatinya puisi
pun memiliki musiknya sendiri. Sebuah filmisasi puisi, semestinya film pun
merawat puisinya sendiri.
Akhirnya, kembali pada amsal Gandhi, “Orang
yang hidupnya mendekati sempurna adalah seniman terbesar.” Inilah
imajinasi semua orang, yang agamis maupun atheis atau pun yang bukan keduanya.
Bahwa kehidupan lebih penting, sepenting mendaki puncak eksperimen sebuah film
esai dari inspirasi atas puisi esai: Suatu ihktiar bareng meremukkan mitos
sisiphus, takkan mulus. []
S. JAI
Women and Youth Development Institute of Indonesia
(WYDII)
Gubeng Kertajaya Surabaya
Email : tanahapikata@gmail.com