Jumat, 10 April 2015

S. Jai : Pengarang Itu Pecinta Sejati Bahasa

antarajatim - Sabtu, 28 Peb 2015 18:57:34 | Penulis : Abdul Hakim

"Untuk menjadi pengarang, hal penting yang hampir tidak pernah ditegaskan para pendidik adalah komitmen untuk mencintai bahasa," demikian kata penulis novel, S. Jai selepas memberikan materi Rahasia Menulis Novel di Bait Kata Library, Larangan-Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (26/2).



 Begitu banyak buku-buku panduan mengarang, pelatihan, workshop, juga tips-tips menulis karya fiksi cerita pendek atau novel, baik dalam bentuk buku maupun melalui website.
 Akan tetapi, masih menurut S. Jai, hal lebih banyak memperlihatkan cara instan untuk bisa menulis, dan bukan suatu gairah agar mencintai bahasa.

 "Yang paling punya peran besar untuk menumbuhkan kecintaan pada bahasa mestinya guru, para tutor, para pegiat literasi, atau pengelola perpustakaan," kata pemenang sayembara novel etnografis Dewan Kesenian Jawa Timur 2012 dengan judul novelnya Kumara, Hikayat Sang Kekasih itu.
 Hal itu pula yang berkali-kali ditegaskan S. Jai pada kesempatan di depan peserta bincang-bincang novel yang banyak dihadiri siswa SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi, serta penulis dan pengelola perpustakaan tersebut.

 Hal mendasar dalam mencintai bahasa, menurutnya, adalah minat membaca dan menulis, yang tentu lebih baik bila ditumbuhkan sejak dini dengan bacaan-bacaan bermutu dan latihan-latihan menulis yang teratur.


 S. Jai mengisahkan, bagaimana proses kreatifnya sejak kelas 4 SD, setahun setelah lancar membaca, pertama kali membaca buku novel anak Peladang yang Loba, karangan Djauhari Balik. 

 Buku itu berkisah tentang seorang peladang miskin yang kemudian kaya raya karena balas budi seekor tikus yang diselamatkan dari cengkeraman elang. Peladang itu masih juga ingin mendapatkan kekayaan berlimpah dengan cara licik, menyuruh orang menyiksa puluhan tikus lalu peladang itu berpura-pura menolongnya agar kembali mendapat balas budi tikus-tikus celaka itu.


 "Sehabis membaca, ketika itu juga timbul hasratku ingin menulis. Hampir bersamaan waktu, aku sudah hafal sajak A Hajmi, judulnya 'Menyesal'; Pagiku hilang sudah melayang, hari mudaku sudah pergi, sekarang petang datang membayang, batang usiaku sudah tinggi..." kenang pengarang yang kelahiran Kediri, 4 Pebruari 1973 ini sekaligus memperlihatkan kecintaannya pada bahasa.
 Lantas, sewaktu SMP, lanjutnya, ayahnya yang tukang sapu di kediaman staf pabrik gula (PG) Ngadirejo sering bawa pulang barang-barang bekas milik juragannya.


 Salah satu barang bekas yang dibawa pulang dan kemudian dibacanya adalah buku Pujangga Baru susunannya HB Yasin. Dibacanya puisi-puisi dan cerpen di buku itu. 



 "Dari puisi-puisi itu kemudian kuacak dan bahasanya kugunakan untuk menulis tulisan panjang, mungkin kumaksudkan sejenis novel waktu itu," akunya yang dari pengalaman itu bertahun-tahun kemudian ia bisa menulis sejumlah novel, di antaranya berjudul Tanah Api, Tanha, Khutbah di Bawah Lembah ini.



Tak Bisa Cara Instan



 Kecintaan dan kesediaan untuk bergulat dengan bahasa itulah yang terus disampaikan S. Jai pada siapa saja yang datang padanya untuk berbincang-bincang perihal novel, utamanya yang hendak menulis novel. 



 Rasa cinta pada bahasa tidak boleh dianggap sepele oleh karena menurutnya hal itu bentuk dari tanggung jawab keilmuan, dan pilihan menjadi pengarang. Selain, novel bagi penulis adalah medium ekspresi, dan berbagi gagasan kepada pembacanya.


 Mengapa harus mencintai bahasa? Karena dengan kecintaan pada bahasa, pergulatan dan kekayaan ekpresi melalui bahasa, pengarang akan lebih banyak memahami kenyataan untuk kemudian membicarakan kembali kenyataan itu.

 Bahasa bukanlah hal yang sepele sebagaimana selama ini banyak dipahami orang seolah bahasa hanyalah yang ada di kamus. Bagi pengarang, lanjut dia, di balik bahasa adalah ada visi dan ekspresi yaitu bagaimana menampilkan segenap pengalaman fisik, batin, psikis, pengindraan dan lain-lain itu menjadi citra, yaitu realitas baru yang itu bukan hanya pengalaman-pengalaman masa lalu, tetapi sudah menyangkut gambaran-gambaran masa kini dan bahkan masa depan.

 "Pengarang harus punya spirit yang demikian, dan itu tidak bisa ditempuh dengan cara instan melalui tip-tip menulis novel, 30 hari jadi novelis, atau kursus kilat jadi penulis terkenal," kata ayah dari tiga orang putra ini.

 Menerbitkan buku itu sekarang tidak sulit, ujar S. Jai. Akan tetapi jika para pengarang ini spiritnya melalui cara-cara instan untuk menerbitkan buku ini tentu menyedihkan dan tidaklah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi dunia sastra atau proses kreatifnya.

 "Kalau menambah jumlah buku di rak toko dan perpustakaan memang iya. Jadi saya memahami dengan kesulitan pengelola perpustakaan seperti Bait Kata Library yang mengaku kesulitan memilih buku-buku bermutu untuk koleksi bacaan, utamanya konsumsi anak," kata penulis lulusan bidang studi Sastra Indonesia dari FISIP Unair 1998 ini.

Menggempur Mitos

 Menurut penulis yang esai kritisnya mengenai Romantika, Tradisi Tutur dan Moral Intelektual (perihal film Romy dan Yuli dari Cikeusik) dinobatkan sebagai salah satu tulisan terpilih Yayasan Denny JA untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi pada 2013, tidak ada resep khusus dalam menulis, kecuali banyak latihan dan banyak membaca, karena itu adalah cara sederhana untuk mencintai bahasa.

 Di samping secara teknis banyak mengenali diri terutama terkait dengan kecenderungan, hambatan dan lain-lain. "Yang prinsip adalah tanggung jawab keilmuan, kesastraan dan mencintai dunia kepengarangan," kata penulis yang cerita pendeknya Rembulan Terperangkap Ranting Dahan, memenangkan seyembara Cerita Panji Dewan Kesenian Jawa Timur 2012 itu.

 "Yang dibutuhkan penulis pemula itu kepercayaan diri sebagai manusia kreatif, semangat belajar dan berlatih. Jangan mudah cepat puas. Yang tak kalah penting ya, belajarlah dengan cara yang benar, bukan cara instan. Ini penting karena dalam dunia tulis menulis dibutuhkan semacam militansi. Semacam kegilaan juga," katanya.

 Kepada mereka juga disampaikan, untuk tahu kesusastraan maka harus banyak membaca kritik sastra, sejarah sastra, karya sastra, teori sastra. Baik sastra Indonesia maupun sastra dunia.
 Banyak sekali bacaan-bacaan yang baik semua bidang itu baik berbahasa Indonesia maupun asing. Internet juga menyediakan bahan yang berjuta-juta.

 "Semua tersedia untuk kita pelajari. Dengan mencintai bahasa, nanti akan terbuka bahwa di balik bahasa ada keluasan cakrawala, kekuasaan, mitos, ideologi yang semuanya itu kehadirannya tidak lain adalah upaya untuk memahami kenyataan dan kemudian membicarakannya. Bahasa adalah medan itu semua," katanya.

 Ia mengatakan kebudayaan selalu melahirkan anak-anak kandung yang kemudian dimitoskan. Pada akhirnya, bukan manusia yang paham dan bicara kenyataan, tapi justru manusialah yang ditentukan oleh kenyataan.

 "Tugas pengarang adalah menjernihkan itu, membongkar mitos-mitos itu. Tugas pengarang sebagai makluk kreatif adalah menciptakan sesuatu yang baru, menggempur sekian jutaan, miliar bahasa yang sudah ada. Ini adalah takdir dari pengarang untuk gelisah merenungkan dan menemukan itu," ungkap pengarang yang tinggal di Lamongan itu.

 Ia menegaskan bahwa sebagai pengarang dirinya mencintai bahasa melebihi segala hal, justru karena tidak mungkin kita bisa menangkap realitas sebenarnya melalui bahasa.

 "Jika pengarang begitu yakin dengan gambaran realitas melalui karyanya, ia sebenarnya sedang memperkosa bahasa supaya menyampaikan cerita novelnya Ia bukan pecinta sejati bahasa," kata lelaki yang baru saja memublikasikan novel terbarunya Tirai ini. (*)