Sabtu, 30 Mei 2015

Antara Pengukuhan dan Gugatan atas Mitos


Judul                : Bukan Kutukan Hujan
Penulis             : M Anshor Sja’roni
Penerbit           :  Pagan Press
Cetakan           :  Pertama, Nopember 2014
Tebal                 : 110 halaman
ISBN                 : 978-602-71603-1-6

MULA pertama yang terbit di benak pembaca acap kali membaca ‘cerpen-cerpen pendek’ laiknya karya M Anshor Sja’roni ini, tentu adalah cerpen koran. Hampir keseluruhan yang ada di buku ini memang sudah tayang di koran dari tahun 1995 hingga 2010.  Sebagai sastra koran ada kaidah jurnalisme di samping selera penjaga gawang rubrik media itu. Wajarlah bila mereka punya perbedaan visi dan misi oleh karena koran-koran mereka juga tak sama dalam pangsa pasar atau kebijakan redaksional, atau bahkan di luar ketentuan itu semua, dan pendeknya berikut segala tetek mbengek lainnya.


Dari sisi ini, yang menarik cerpen-cerpen dalam buku ini ternyata tayang di banyak koran yang berbeda. Dan bagi yang nyemplung dan bergiat dengan sastra koran, ternyata untuk dimuat di koran tertentu agar menerima honor yang layak tidaklah segampang membalik tangan.  Sudah bisa dibayangkan apa kira-kira pergulatan penulis buku kumpulan cerpen ini dari balik cerpen-cerpennya.

Bila tak berkeberatan menengok angka tahun dalam cerpen-cerpen di buku ini, saya sendiri mengingat bahwa peristiwa-peristiwa di koran masih sering sebatas peristiwa jurnalistik sebagai suatu berita sehingga penulis sastra koran dituntut punya pandangan untuk melampuainya. Ini suatu hal bahwa ruang dan waktu ternyata memiliki peristiwa dan maknanya sendiri, karena betapa sekarang peristiwa juga berita-berita di koran seringkali malah melampaui dunia fiksi kita.  Dulu kita sering takjub dengan kenyataan fiksi. Sebaliknya, kini dunia nyata justru jauh menawarkan kenyataan yang melampaui fiksi.

 Membaca cerpen-cerpen dalam buku ini, ada teks dan konteks yang seakan berkelindan dengan ruang dan waktu penciptaan di dalamnya. Kemungkinan-kemungkinan bisa dibuka dari rangka bangun ‘sesuatu dunia yang diciptakan dan dibayangkan’ oleh M Anshor Sja’roni ini.  

Kebetulan saya pernah mengenal penulis buku ini ketika dalam komunitas seni teater Puska di Fisip Unair.  Saya cukup tahu intensitas anak muda gondrong pada waktu itu yang ternyata tidak hanya bergelut dan bergulat dengan kata dalam cerpen atau puisi untuk dimuat di media. Lebih dari itu, mahasiswa sosiologi ini juga melisankannya. Bahkan juga membaca, melisankan, menuturkan, dan mempertontonkan naskah-naskah drama modern Indonesia maupun barat.  Meski dengan strategi, teknik, bahasa serta kedisiplinan yang berbeda dengan penulisan puisi, atau pertunjukkan drama, setidaknya cerpen-cerpen dalam buku ini ditulisnya dalam tradisi seperti itu. Termasuk juga barangkali waktu kepenulisannya berebut dengan jam-jam konsentrasinya dalam kuliah teori-teori sosiologi.

Dengan kata lain,  buku ini lebih dari sekadar tetenger adanya masa lalu—bahwa dunia sastra tak bisa menghapus eksistensi M Anshor Sja’roni.  Akan tetapi ada proses yang dengan demikian menerbitkan buku kumpulan cerpen tak semata bermakna dokumentasi, melainkan juga representasi dan history (atau his story)  Sejarah sastra sudah hadir dengan atau tanpa kumpulan cerpen ini.  Namun sejarah sastra juga sejarah kepenulisan serta proses kreatif M Anshor  Sja’roni menjadi lebih kaya berkat terbitnya buku ini.  

Bukan Semata Dokumentasi

Tiba-tiba saya teringat dengan ungkapan salah seorang guru Dalai Lama ke 14 dan film Kundun, yang berujar, “Dia itu sangat modern seperti dia di masa lalu.”  Saya juga teringat ucapan Wangari Muta Maathai—pejuang lingkungan peraih nobel perdamaian itu,” Masa depan adalah hari ini.”   Pendeknya, ini sekadar penegasan bahwa buku ini bukan semata dokumentasi, melainkan sejarah itu sendiri—sejarah sastra maupun sejarah proses kreatif M Anshor Sja’roni.  Sebagai sejarah, juga proses kreatif berikut ledakan-ledakannya; struktur-struktur yang teks sejak gagasan, teknik, bahasa prosaik, plot dengan segenap daya empatinya, ideologi hingga pesan moral di dalamnya terbuka untuk diperbincangkan.

Sepintas dari sisi gagasan ide-ide kreatifnya, misalkan, cerita-cerita dalam buku ini seakan mengelompok setidaknya empat rumpun. Sejumlah cerita memperlihatkan gagasan tarsir sosial atas kenyataan seperti ditunjukkan Cerita Kanib, Warung Jamiah, Janda Nina. Cerita Kanib bicara tentang  pelecehan seksual,  PHK, kisah tragis pengangguran atau PRT ditawari jadi prt. Cerpen Warung Jamiah cerita tentang keluarga korban bencana lumpur yang terus didera nasib—suaminya di malaysia, istrinya terancam menutup warung. Cerpen Janda Nina dengan sudut pandang yang unik. Mula-mula dengan sudut pandang aku—mungkin tokoh Badat. Lalu saya Nina, janda yang kemudian kerja sebagai pembantu di kota. Kemudian saya—Badat lagi. Nina lagi dst. Cerita tentang keluarga yang saling selingkuh. Sampai kemudian terbongkar juga Ani, putri tunggal Nina mengenalkan Pak Seno sebagai calon suaminya, yang tak lain kekasih gelap ibunya.

Beberapa cerita lain seperti dalam Kemarau Hati, Perempuan yang Salat di Tengah Malam, banyak mengekplorasi gagasan intuitif.  Kemarau Hati, kisah tokoh aku yang ingin memiliki anak dari istrinya yang sedang sakit jantung dan hasrat untuk bercinta dengan perempuan lain soraya. Perempuan yang Salat di Tengah Malam. Kisah istri yang menyimpan rahasia aib dirinya pada suaminya. Ia korban perkosaan. Dan selalu gagal bila hendak bercinta. Saban malam ia mendoakan kebahagiaan hidup keluarganya.  Sementara gagasan perseptif  yang liris menguar dari cerpen Bukan Kutukan Hujan, kisah cinta di musim hujan. Semua peristiwa dikisahkan berkait dengan musim hujan. Anehnya, segala itu berbentuk tragedi. Walau banyak yang menyakini hujan telah mengutuk keluarga itu, tapi Akila kemudian membina cinta dengan kekasihnya tetaplah memuja hujan. Sampai suaminya tewas oleh pohon tumbang akibat hujan badai, Akila tetap tak percaya hujan telah mengutuknya. Juga dalam Cinta dan Gagak Putih  puitis, hasrat seorang lelaki pada perempuan kekasihnya. Ia juga perlihatkan kekuasaan.

Ledakan-ledakan gagasan yang imajinatif banyak muncrat dari cerpen Selongsong Peluru, kisah cinta yang sangat imajis dengan Liwat—saksi kunci pembunuhan pejabat--yang menghadiahi liontin dari peluru untuk pacarnya. Lalu Barindah, kisah tragis pelacur 16 tahun. Bapaknya mucikari. Ibunya menjual diri. Bapaknya mati dibunuh kawannya. Lalu pelacur belia itu membalas dendam pada keduanya—bapak dan ibunya. Termasuk di dalamnya, Manusia Setan kisah pengikut garis keras, tapi kemudian tersadar oleh karena hampir jadi korban dari suara-suara yang mengaku malaikat.

Tradisi Tutur dan Kelisanan

Boleh jadi, sejumlah cerita memperlihatkan daya tarik pada struktur cerita tutur. Dan betapa tidak sepenuhnya  cerita-cerita di buku ini memperlihatkan struktur cerpen cerpen modern sebagaimana cerpen-cerpen Anton Chekhov atau O Henry. Melainkan ada pitutur lisan di dalamnya.  Sehingga juru cerita sangat penting. Seperti dalang. Beruntung M Anshor Sja’roni cukup lihai. Bagi pembaca yang suka dengan pitutur dia akan bersabar dan tekun mengikuti. Bahkan  sangat memikat. Sampai di sini secara ekstrem cerpen ini sebetulnya penolakan bentuk-bentuk cerpen modern barat.  Bukankah kita ini ini punya bentuk khas yaitu hikayat atau babat

Sejumlah cerpennya bagaikan dilisankan—dituturkan yang seringkali dalam tradisi sastra kita dalam babat, dongeng, hikayat, atau cerita rakyat disarati dengan pesan moral. Sebagaimana laiknya pesan moral senantiasa dilayangkan untuk mengangkat derajat ‘moral’ masyarakatnya. Penulis ini sangat piawai sebagai juru cerita menyampaikan petuah-petuah justru dalam  persimpangan bahkan paradok antara yang tutur dan yang sastra modern—dunia cerpen. Derajat seperti ini hanyalah bisa dilakukan oleh juru cerita yang memiliki energi proses kreatifnya cukup matang.  Andaikan seorang dalang, modernitas M Anshor Sja’roni pada begitu banyaknya carangan-carangan yang dikisahkan, namun wayang sebagai cermin hidup tetap kaya ajaran. Paradok itu termasuk di dalamnya, penulis sebagai ‘pusat kekuasaan’ (satu bentuk kekuasaan tertentu—istilah Ben Anderson) di satu sisi, sementara di sisi lain, pembaca cerita adalah pengarang sebenarnya yang butuh energi kreatif tak kalah lebih besar daripada penulis sebagai juru cerita.  Kepiawaian M Anshor Sja’roni adalah kekuasaan dalam membangun ‘komunitas-komunitas yang dibayangkan.’

Kepiawaian sang juru cerita juga dalam hal di satu sisi memitoskan pesan atau mengukuhkan mitos-mitos pesan—katakanlah  ideologi agama tertentu misalnya—akan  tetapi di sisi lain ia membuka ruang-ruang munculnya gugatan, pertanyaan atau bahkan mematahkannya dengan ruang kosong baru tempat tafsir bisa meluas berkembang.

Kiranya perlu penelitian lebih mendalam apakah tradisi lisan yang berakar dari banyak kemungkinan--termasuk di dalamnya teknik wawancara-wawancara yang dilakukan penulis sebelum menulis cerita, atau pesan-pesan moral yang sangat mungkin mendorong terbentuknya etika moral baru bagi masyarakat tertentu--memang sebuah upaya eksperimental dari penulis yang juga sosiolog ini.  Saya hanya memastikan kedekatan sosiologi dan sejarah, menyebabkan karya-karya M Anshor Sja’roni ini tak lain adalah karya sejarah—tepatnya sejarah mental—masyarakat keseharian yang sangat penting untuk ditelisik.

Dalam pengertian yang demikian, kini, terbitnya buku ini menjadi sangat penting dalam menghadirkan kepengarangan M Anshor Sja’roni dulu dan sekaligus yang akan datang. Kita tunggu karya-karya selanjutnya. [S.Jai]